Jawabannya sederhana: relatif. Tiap penerbit memberlakukan standar berlainan. Ada juga yang memberi keleluasaan negosiasi, biasanya ini diperuntukkan penerjemah yang dianggap jaminan mutu atau sudah kampiun di bidangnya. Meski relatif tidak banyak, masih ada penerbit yang menetapkan honor per halaman. Umumnya, margin dan layout halaman tersebut pun ditentukan dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK) bersama pasal-pasal lain yang memuat tenggat dan sebagainya. Contohnya, Rp 12.000,00 per sekian karakter atau per halaman A 4 yang terdiri dari sekian baris. Sependek pengetahuan saya, tarif ini bermula dari angka Rp 10.000,00. Bagaimana dengan honor per karakter? Ada penerbit yang terang-terangan menyatakan bahwa standar kompensasi mereka adalah 8,5-17 rupiah per karakter tanpa spasi. Ada yang mulai dari 7-8 rupiah, kemudian berangsur-angsur naik sesuai perkembangan kompetensi penerjemah yang terasah seiring dengan waktu. Di samping itu, deadline dan tingkat kesulitan (termasuk bahasa asing non Inggris) turut berpengaruh pada negosiasi honor. Yang sudah santer tersiar adalah kabar tentang penerbitan di kawasan tertentu. Mereka menetapkan standar yang relatif lebih rendah dibandingkan beberapa kota lain, termasuk yang berdekatan, sehingga dengan sendirinya pihak penerbitan di sana berpikir-pikir untuk menggunakan jasa penerjemah di kota lain. Namun ternyata tidak semuanya demikian. Meski tidak banyak, ada penerbitan tertentu (dengan genre buku yang spesifik pula) menerapkan tarif relatif lebih tinggi untuk penerjemah baru ketimbang penerbit besar yang memberlakukan sistem ‘percobaan’ yang akan meningkat seiring perkembangan kompetensi penerjemah bersangkutan. Semoga tulisan singkat ini membantu. Mohon tidak membandingkan dengan ketetapan standar Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), sebab bila itu diterapkan, bisa dibayangkan alangkah mahal harga buku di pasaran nantinya.
SPK itu apa?
Kepanjangan SPK ini berlainan. Ada penerbit yang menyebutnya Surat Perintah Kerja, di tempat lain Surat Perjanjian Kerja. Ada juga yang menggunakan istilah Surat Perjanjian Penerjemahan.
Tidak semua penerbit memberikan dokumen kesepakatan tertulis seperti ini, yang sebenarnya bisa dipandang dari kacamata positif. Pertama, mereka percaya penuh kepada freelancer-nya yang bahkan belum pernah bertemu muka sekalipun, seperti pengalaman saya dengan sebuah penerbit besar yang hanya berkomunikasi lewat email. Itu pun pendek-pendek saja. Kedua, memudahkan secara prosedural, sebab menunggu surat dikirim ke rumah, membaca pasal demi pasal, menandatangani di atas materai dan mengirimkan kembali bagaimanapun membutuhkan waktu.
Ada SPK yang ringkas, hanya satu halaman, ada yang detail. Contoh SPK yang ringkas, tercantum poin-poin berikut:
- Nomor surat
- Tanggal
- Order dari: *nama penerbit*
- Penanggung jawab
- Nama freelancer
- Judul buku
- Jenis order (penerjemahan, penyuntingan, layout, atau proofread )
- Judul buku
- Biaya
- Ketentuan (spasi, jenis huruf, margin)
- Ada juga yang mencantumkan kualitas penyelesaian: well edited
- Deadline
- Cara pembayaran dan nomor rekening
- Tanda tangan
Berikut contoh isi SPK yang rinci/panjang, menyerupai kontrak resmi yang mungkin familier bila Anda pernah menulis buku. Beberapa pasalnya antara lain:
Tugas dan tanggung jawab
Di sini tercantum, di antaranya, bahwa hasil terjemahan sudah diketik dan diedit rapi.
Honor dan cara pembayaran
Menyangkut nilai kompensasi, pajak, dan waktu pembayaran
Jangka waktu penyerahan
Deadline dan denda (kalau ada)
Salah satu pasal menyebutkan, meski kebanyakan penerjemah sudah tahu, bahwa penerjemah tidak memegang hak cipta hasil terjemahan buku tersebut dan tidak memperoleh royalti karenanya. Ada pula penerbit yang menegaskan dalam pasal SPK-nya bahwa hasil terjemahan tidak boleh diserahkan kepada pihak lain dan tidak boleh disubkontrakkan.
Suatu waktu, saya pernah memperoleh SPK yang mengandung pasal ini:
Jika setelah melalui proses perbaikan, naskah tersebut belum memenuhi taraf mutu yang diharapkan, maka Pemilik Naskah berhak untuk tidak memakai hasil terjemahan tersebut dan Penerjemah tidak berhak menerima pembayaran yang telah disepakati.
Kebijakan mengenai penyerahan SPK ini berbeda-beda. Ada yang sedari awal memberikan dalam bentuk softcopy, ada yang hardcopy dulu dan harus dikembalikan melalui pos/kurir pula, namun ada juga yang mengirimkan hardcopy namun saya boleh mengembalikan yang bertanda tangan via email. Dengan begitu, bila SPK-nya rinci sekali, saya tinggal menandatangani halaman terakhir dan mengirimkan hasil scan-nya.
Bentuknya kira-kira seperti itu.
Perlu diketahui beberapa poin seputar prosedur pembayaran honor:
- Tidak semua penerbit menggunakan SPK. Namun ada yang memberikan SPK dan BAP, harus kita tandatangani biasanya di pertengahan proyek. Sedapat mungkin usahakan agar BAP diperoleh/dikirimkan kembali menjelang pekerjaan rampung supaya pembayaran tidak terlalu lama. Ada penerbit yang menetapkan transfer pada hari tertentu sekitar dua minggu setelah BAP diterima, asumsi saya oleh bagian keuangan.
- Beberapa penerbit menjadwalkan pembayaran tiap hari tertentu, sekali seminggu. Misalnya tiap Selasa, artinya paling lambat pekerjaan disetorkan Senin pagi dengan asumsi editor tidak sedang cuti dan langsung mengecek e-mail. Karena kemungkinan tersebut, di samping biasanya Senin adalah jadwal rapat rutin redaksi, alangkah baiknya disetorkan Jumat sore/siang supaya Selasa dapat cair.
- Rata-rata penerbit memberlakukan pembayaran dua minggu setelah pekerjaan diterima. Katakanlah jadwal mingguannya Selasa, kita serahkan tepat hari Selasa sore, maka cairnya dua kali Selasa lagi.
- Ada juga penerbit yang membayar pada hari yang sama atau selang dua-tiga hari saja.
- Penerbit lain mensyaratkan invoice, artinya kita menghitung sendiri jumlah karakter/halaman hasil terjemahan kemudian dicocokkan oleh pihak penerbit sebelum pembayaran.
Catatan penting: selalu konfirmasikan penerimaan SPK yang sudah ditandatangani kepada editor, agar pembayaran tepat waktu. Bila kita terlambat mengirimkan kembali berkas itu, terlambat pula pengajuannya ke bagian keuangan.
wow O.O
ternyata mahal banget yua..
siapa yang rela bayar semahal itu buat nerjemahin?
Tarif penerjemah buku relatif rendah lho, dibandingkan dengan penerjemah nonbuku. :-p Tapi pekerjaan menerjemahkan memang bukan hal mudah, dan layak dihargai dengan tarif tinggi.
kalau mau jujur, menerjemah buku kelebihannya hanya kita punya portofolio yg bisa dinikmati banyak orang. apalagi kalau bukunya bisa best seller. duitnya sih cekak hahahaha
Memang, penerjemah buku memperoleh pengakuan, sementara penerjemah nonbuku harus bekerja di balik layar. Kelebihannya selain itu, bagi sebagian orang, termasuk bagi saya, penerjemahan buku itu lebih menyenangkan daripada nonbuku.
kalau dibandingkan dg menerjemahkan nonbuku, honornya beda jauh ya. tetapi saya rasanya lebih punya passion untuk menerjemahkan buku daripada nonbuku. 🙂
saya sependapat 🙂 tapi, saya menerjemahkan buku maupun nonbuku, soalnya keduanya memberi sesuatu yang saya perlukan :-p
Menerjemahkan nonbuku memang tarifnya lebih memuaskan.
Tapi secara batiniah, aku lebih suka menerjemahkan buku. Karena aku suka buku…
Bahkan kalau ceritanya bagus, kadang nggak mikir tarif hehehe…
Mbak Esti jujur nian, hihihi…
Apalagi kalau deadlinenya tak mendesak, ya Mbak:D
aku setuju dg pendapat kalian berdua
Sebenarnya ingin sih menerjemahkan buku lagi. Dulu pernah, walaupun jumlahnya tidak sampai 5 Tapi kalau sekarang sepertinya akan jadi sebuah kemewahan. Soalnya kalau lihat uang yang didapat dan dibandingkan dengan biaya hidup di sini, bisa tekor. :p
Memang harusnya menerjemahkan buku motivasinya hobi atau kesenangan. Masuknya di kolom pengeluaran, bukan pendapatan. 😀
Sepertinya penerjemah yang hanya mengerjakan buku di Indonesia pun relatif jarang, Mas Ade:) Kebanyakan merangkap profesi.
bener mba…seperti yours truly hehe…soalnya kalo engga, dapur ga berasap (utk aku lho ya)
Thx info nya ya mba.. ak jg bercita-cita pengen jadi penerjemah.. info ini sgt berguna utk saya.. 🙂
Menerjemahkan sebuah buku atau artikel itu menurut saya adl sebuah seni. Karna memerlukan rasa dan keindahan tatanan kata sehingga setelah diterjemahan pembaca tdk hanya mengerti artinya tp jg hrs terbawa dg situasi dlm terjemahan tsb. Jd seni itu mmg tak sama dg angka yg pasti layaknya ilmu finance tp seni itu srg diiringi kt tinggi, selera seni yg tinggi, jd ya sdh pasti ‘dihargai tinggi’ 😉
Kalau seni atau persoalan estetik itu relatif dan sangat tergantung pada konten dan konteks yang ada di dalam teks.
salam kenal mbak Femmy. mau nanya lg ni, mbak femmy tau gak alamat email penerbit Gramedia. thanks
Coba kirim ke recruitment@gramediapublishers.com
Susah menetapkan tarif yang layak ya. Dulu saya sempet mampir blognya Mbak Dina Begum dan beberapa senior lain untuk mengetahui medan, dan di situ disebutkan kalau terjemahan buku kira-kira 7.500 – 20.000. Baru belakangan saya sadar kalau itu kiriman lama dan harga sudah naik (minimal 10 ribu). Artinya dua proyek pertama sama dibayar di bawah standar.
Sempet agak “gelo”, tapi ya nggak papalah, kan proyek pemula. Tapi barusan ditawari kerjaan lagi, masih dengan tarif lama.
Sebetulnya bagaimana ya sebaiknya antara menyeimbangkan kemampuan dengan tarif? Kalau menurut pengalaman para senior, bagaimana sepak terjangnya ketika baru memulai?
Kadang saya agak sedih ketika ada pemula yang bertanya tentang tarif (yang biasanya memang belum tahu harga) langsung ditandas dengan ketus seolah pemula tersebut sengaja merusak harga.
Mbak, secepatnya saya jawab melalui e-mail, ya. Terima kasih atas pertanyaan dan kesabarannya:)
Terima kasih infonya mba